Kamis, 11 Maret 2021

Masih senyum..

Pebruari 2021 saya sudah lepas dari jabatan struktural apapn di Unesa pasca lengsernya saya dari Sekretaris Pusat Studi Literasi. 

Sebagai manusia, pasti sesaat ada kejengahan dan kegalauan. Tetapi tidak sampai 2 hari, sebagai dosen biasa sudah saya nikmati penuh rasa syukur. Bukan syukur dalam arti materialisme yang mewabah saat ini, tetapi lebih ke pemahaman spiritual sebelumnya, bahwa Allah tidak akan membiarkan umatnya dalam kesengsaraan jika dia berusaha dan penuh rasa syukur. 

Beberapa orang yang berkomentar saat saya dilepas dari LPPM, adalah Prof K, yang memohon ke saya untuk terus membantunya di Literasi. Begitu selesai rapat perpisahan LPPM, kolega FRK juga mengomentari, mengulang apa yang disampaikannya sebelumnya: saya berarti harus fokus mengincar profesor. Ada lagi satu orang terpenting di Unesa, meskipun tidak berkomentar apa-apa, tetapi atas bantuan keuangan yang dia berikan sebelumnya, yaitu dana dalam penelitian kami tentang RI 4.0, saya belikan PC All in One ini ke anak saya, Yarif. Rasa syukur saya bertambah saat sudah kusadari bahwa istri semakin baik ke saya, sudah jarang mengeluh rasa capeknya karena memang tugasnya sebagai istri.

Senyum dalam hati ini semoga abadi dengan rasa syukur dan tawadhu...

Jumat, 22 Januari 2021

Senyum 2010 dan 2011

Senyum masih menjadi hobby saya setelah tahun 2004 lulus sebagai master dari UGM. Pembantu Dekan 3 di FIK yang mengelola urusan kemahasiswaan, ancang-ancang mendelegasikan urusan kemahasiswaan di ajang penalaran ilmiah - sesuatu yang aneh di FIK waktu itu - ke sosok dosen yang kira-kira mau berjuang di penalaran kemahasiswaan FIK. Saya dibidik. Meskipun benar-benar dari nol (karena jangankan FIK, Unesapun juga belum ada gerakan heroik di bidang ini secara sistematis) keterlibatan saya karena rasa senang bergaul dengan urusan kemahasiswaan dimulai. 

Berangkat dari pembimbingan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi, urusan penalaran melalui wadah bernama Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM), yang kelak berganti nama Proram Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan penekanan pada lomba-lomba nasional tentang penulisan ilmiah mahasiswa secara periodik mengharuskan saya berjibaku di dunia kemahasiswaan untuk urusan penalaran ini. Saya yang masih sering bermalam menumpang di kampus, siang dan malam membantu mahasiswa masalah urusan penalaran ini. Seperti biasa, saya tidak berpikir dapat reward apa dari urusan ini. Bekerja apapun seoptimal mungkin, itu kata-kata tertanam entah oleh siapa dan apa bahkan sampai saat ini. Tentu ada kekecewaan dibalik harapan, tentu ada ketidakadilan terasakan, tetapi sudah langsung terkubur begitu bekerja lagi dan lagi. 

Saat saya diminta Pembantu Rektor 3 Unesa mengawal mahasiswa berangkat ke Depok tahun 2009, saya kenal salah satu petinggi mahasisa Unesa untuk Unit Kegiatan Ilmiah Mahasisa (UKIM). Tahun itu juga saya dilantik menjadi pembimbing UKIM mewakili FIK. Tidak lama setelahnya, saya menjadi pembimbing utama UKIM sampai 2012, untuk organisasi kemahasiswaan level universitas yang minim keanggotaan dari Fakultas saya. Sembari mengurusi penalaran FIK, saya juga aktif membimbing UKIM yang secara geografis juah dari FIK, yakni di Ketintang. 

Salah satu pentolan mahasiswa FIK mengajukan PKM dengan saya sebagai dosen pembimbingnya. Mahasiswa - yang saat ini sudah menjadi dosen FIK juga - bersama timnya berhasil lolos sampai berangkat PIMNAS (Pekan Ilmiah Nasional, ajang paling bergengsi penalaran mahasiswa nasional) ke Bali. Banyak cerita yang mungkin akan saya kisahkan sendiri di lain topik, tetapi poin utamanya adalah saya sudah benar-benar berjuang dan bekerja untuk Unesa di luar tugas pokok saya sebagai dosen. Meskipun 6 tim PKM Unesa waktu itu yang berangkat naik bus biasa gagal membawa piala Adhikerta Widya (piala PIMNAS) termasuk tim bimbinganku ini, tetapi bagi saya mereka sudah juara. Senyum 2010 ini harus kuterus-tularkan di tahun-tahun berikutnya.

Anggapan saya juga masih berlaku satu tahun berikutnya. Saya ditugasi mengawal SATU-SATUNYA tim mahasiswa Unesa yang berhasil lolos berangkat PIMNAS waktu itu di Makasar. Antara bangga sebangga-bangganya sebagai pendamping penalaran dari FIK, sekaligus prihatin karena tidak ada fakultas lain di Unesa yang lolos PIMNAS, saya bersama para mahasiswa anggota tim naik pesawat Garuda yang bagi para mahasiswa itu sudah mewah sekali. Sama dengan tahun sebelumnya, tim PKM ini gagal membawa pulang piala. Hanya kebanggaan berlimpah ruah bahwa FIK yang biasanya tidak pernah muncul masalah penalaran ilmiah, akhirnya pecah endoge kedua kali meloloskan satu-satunya tim dari Unesa yang berjuang habis-habisan hingga level PIMNAS. Rektor Unesa waktu itu yang juga mantan Pembantu Rektor 3 dan juga teman kakak almamater UGM saya, ikut blusukan melihat perjuangan mahasiswa ini di kelas. Secara umum dan implisit, genderang penalaran ilmiah mahasiswa sudah ditabuh, bahkan sudah saya tabuh. 

Senyum 2011 itu masih membekas bahkan hingga sekarang. Wakil Rektor 3 Unesa yang dosen FIO (Fakultas Ilmu Olahraga, peralihan FIK), membisikkan saya untuk tetap berjuang di penalaran mahasiswa FIO. Sudah banyak dosen-dosen muda yang paham pentingnya "gila" di bisang penalaran seperti yang saya lakukan. Tetapi Unesa masih mempercayai saya hingga saat ini. 

Senyum memang tidak mungkin selamanya menghiasi wajah, tetapi selalulah tersenyum dalam hati.,

Sabtu, 16 Januari 2021

Senyum

Tuhan mentakdirkan penempatan saya di Unesa tempat saya bekerja sebagai hamba kesepian yang harus meramaikan keadaan. Tahun 1999 ketika IKIP Negeri Surabaya (sebelum berubah tahun berikutnya menjadi Unversitas Negeri Surabaya) memanggil saya untuk menjadi punggawanya, senyum kecut sempat menghiasi wajah saya saat sepulang dari kantor pusat di Ketintang tempat pengumuman penerimaan dosen itu ditempel di kotak kaca berputar. Nama saya menyingkirkan setidaknya 8 orang teman se-almamater untuk mengabdi di IKIP. Kecutnya senyum saya membekas sampai menjelang naik angkot ke terminal Joyoboyo. Kecut karena membayangkan doa saya selama ini bisa mengajar di Unair (yang tahun itu belum membuka lowongan filsafat)...😅

Jadilah saya sebagai dosen filsafat di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan!

Kecut di senyum saya akhirnya saya buang jauh-jauh ke Yogyakarta. Saya ingin ambil jarak dulu dengan kejengahan koridor keilmuan di tempat baru itu. Setahun lebih saya menjadi alien di FPOK - yang kini jadi FIO setelah FIK - sambil menularkan idealisme asing ke mahasiswa-mahasiswa baru di situ, meski terseok-seok dan berkali-kali gagal. Refleksi saya: gagal karena saya tidak PD dan masih selalu merasa aura alien di sosok saya. Tahun 2002 akhirnya saya disokong Indonesia dengan beasiswa kuliah di S2. 

Komputer adalah teknologi penyedia solusi kepribadian saya setelah itu. Saya - yang alien - mulai mendapat tempat di FIK (Fakultas Ilmu Keolahragaan), termasuk mengajari - informal - teman-teman dosen mulai dari cara menghapus karakter di PC hingga menggebuk virus-virus dengan AVG dan kawan-kawannya. Saat mengajar komputer di depan ruang kerja dekanat. Pembantu Dekan 1 FIO yang saat ini menjadi Rektor Unesa menugasi saya mengelola website FIK! Dosen Filsafat di kampus para pejuang olahraga menjadi tokohnya komputer. Senyum kecut saya membayang lagi mengingat ketidakkongruenan ilmu yang saya miliki dengan penempatan itu.

Kali ini bukan kecut-nya, tetapi senyumnya yang saya pikirkan. Sekecut apapun, saya sudah mulai merasa "diterima", "dibutuhkan". Hilanglah aura alien, perlahan mimikri menjadi sosok punggawa FIK. Konfidensi saya berlipat-lipat saat mengajar dan berinteraksi dengan semua orang - terutama mahasiswa. Jika tahun 1999 saya datang karena "undangan" konseptual pasca deklarasi ilmu keolahragaan sebagai ilmu mandiri di Indonesia, tahun 2003-2004 saya "diundang" karena komputer. Senyum kecut sudah berganti manis.. 😇