Oleh:
Dr. Made Pramono[2]
Model pendidikan olahraga (Sport
Educational Model, selanjutnya disingkat SEM) adalah model kurikulum dan
pembelajaran yang memberikan pengalaman olahraga otentik terhadap siswa dalam
pendidikan jasmani (Siedentop, 1998: 19), sementara
model permainan taktis (Tactical Games Model, selanjutnya disingkat TGM) adalah model pembelajaran yang
meningkatkan kecakapan bermain melalui tindakan memainkan permainan yang
menarik dan mudah dipahami (Mitchell, Oslin, &
Griffin, 2006: 15). Berbagai keuntungan integrasi kedua model pembelajaran
pendidikan jasmani ini sudah banyak yang meneliti (yang sebangun dengan
penelitian ini misalnya Pritchard
& Mccollum, 2013; Chouinard, 2007).
Pendidikan jasmani dalam penelitian ini tidak sekedar dimaknai sebagai
pendidikan terhadap jasmani, tetapi
pendidikan melalui jasmani. Hal ini
dihubungkan dengan misi pembangunan
nasional, yakni mewujudkan
bangsa yang berdaya saing dengan prioritas utama menekankan upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia (RPJPN 2005 – 2025). Kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang dimaksud, tidak bisa hanya dikaitkan dengan
keterampilan berpikir, tetapi juga berhubungan dengan keterampilan berperilaku.
Metzler (dalam Chouinarde, 2007: 6) menyebut Tactical Games Approach sebagai model instruksional mainstream
untuk pendidikan jasmani dan menyebutnya dengan Tactical Games Model (TGM), yakni:
Model istruksional yang
menunjuk pada rencana koheren dan komprehensif untuk mengajar yang mencakup:
pondasi teoritis, luaran pembelajaran, kompetensi keilmuan pengajar, pengembangan
aktivitas pembelajaran yang berurutan dan tepat, ekspektasi terhadap perilaku
pengajar dan siswa, struktur-struktur penugasan yang unik, penilaian terhadap
luaran pembelajaran, dan cara-cara verifikasi implementasi yang meyakinkan dari
model itu sendiri (hal. 7).
Model
instruksional sebagaimana dijelaskan Metzler ini secara definitif selaras
dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagaimana diamanahkan Undang-undang no 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Perpres
No. 8/2012 tentang KKNI, Permendikbud No.49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi (SN Dikti).
Dengan
penekanan pada nilai-nilai siswa sebagai pusat dan perencanaan berbasis luaran,
pendekatan taktis ini merupakan model instruksional yang memampukan guru,
siswa, orang tua, dan administrator untuk memajukan pendidikan siswa yang
holistik dan transformasional melalui pendidikan jasmani (Griffin & Butler,
2005: 63).
Integrasi
TGM dengan SEM, disimpulkan Collier (2005), memberikan peluang kepada guru
untuk mempertinggi capaian luaran pembelajaran untuk siswa (Chouinarde,
2007: 8). SEM yang dikembangkan oleh Daryl Siedentop
(1994: 4) dirancang untuk mengedukasi siswa untuk menjadi pemain dalam arti
sebenarnya dan untuk membantu mereka berkembang sebagai pemain yang kompeten,
terpelajar, dan insan olahraga yang antusias. Penelitian tentang kemanfaatan
SEM misalnya dilakukan oleh Dana Perlman (2012: 141, 152), yang menyimpulkan
bahwa SEM mampu mengubah persepsi dan pengalaman siswa-siswa yang cenderung
kurang termotivasi menjadi antusias berolahraga.
SEM
dimaksudkan untuk menciptakan pengalaman olahraga yang otentik dan sesuai
perkembangan usia siswa laki-laki dan perempuan dalam pendidikan jasmani, di
mana semua berpartisipasi secara sama. Beberapa aktivitas diajarkan secara
mendalam dan meluas sehingga tujuan muatan pembelajaranpun juga diperluas.
Unit-unit instruksional (atau disebut sesi-sesi dalam SEM) memungkinkan siswa
tumbuh dalam luaran dan peran yang bervariasi (Chouinarde, 2007: 8). Bennett dan Hastie (1997: 39) yang meneliti penerapan SEM
untuk perkuliahan pendidikan jasmani di kampus, juga menegaskan bahwa SEM
dirancang untuk membantu mahasiswa (dan siswa) menghargai olahraga, dengan
memampukan mereka mengalami kompetisi rendah dan kompetisi tinggi. Ketika
menggambarkan TGM, Mitchell dkk (dalam Prittchard & Mccollum, 2009: 38)
menyarankan untuk menggunakan komponen-komponen SEM untuk “menyediakan kerangka
kerja efektif yang melaluinya model permainan taktis dapat diimplementasikan”.
Integrasi
TGM dan SEM secara tepat dapat melipatgandakan keberhasilan siswa dalam pendidikan
jasmani. Kompatibilitas kedua model didasari beberapa alasan: (a) maksud
keduanya adalah pelayanan yang lebih baik bagi semua anak-anak dengan
mengadakan pengalaman permainan dan olahraga yang tepat sesuai usia mereka; (b)
teori permainan menjadi dasar kedua model; (c) memainkan permainan merupakan
pusat pengorganisasian keduanya, dengannya kompetisi sehat ditekankan; (d)
keduanya menggunakan pengalaman pembelajaran yang merepresentasikan olahraga
otentik dan pengalaman permainan. Perancangan pengalaman olahraga dan permainan
yang tepat sesuai perkembangan usia siswa adalah hal yang paling utama dalam
keberhasilan baik TGM maupun SEM (Collier, dalam Chouinarde, 2007:
9-10). Prittchard dan Mccollum (2009: 31) menyebut integrasi TGM dan SEM ini
dengan Sport Education Tactical Model
(SETM), yang sebenarnya tujuannya sama dengan SEM, yakni membantu siswa untuk berkembang sebagai pemain yang kompeten, terpelajar, dan
insan olahraga yang antusias.
[1] Tulisan
ini “belum selesai”, dan hanya bersifat pengantar yang selengkapnya akan
penulis tuntaskan di tulisan-tulisan berikutnya jika berkesempatan. Tulisan ini
dapat ditemukan pada proposal PUPT 2015 yang penulis buat berjudul “Integrasi Model
Pendidikan Olahraga dan Model Permainan Taktis untuk Peningkatan Ecolitercy” dengan Andun S sebagai ketua
pengusul. Daftar pustaka tulisan ini – maaf - ada di proposal tersebut.
[2] Dosen
Filsafat pada Unesa, email: madepramono@unesa.ac.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar