Manusia dan lingkungan adalah kesatuan yang saling mempengaruhi satu
terhadap lainnya. Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menyebutkan
hal ini:
Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Banyaknya
kasus mengenai lingkungan hidup menunjukan bahwa masih rendahnya kepedulian
terhadap lingkungan hidup. Berikut ini adalah contoh masalah lingkungan hidup:
1.
Bekasi, Jawa Barat,
Pabrik yang berdomisili di Kampung Bangkongreong, Kelurahan Sertajaya,
Kecamatan Cikarang Timur itu terbukti melakukan pencemaran berat berdasarkan
hasil uji laboratorium lingkungan (Antara News, 27 Desember 2013).
2.
Air sumur warga
Dukuhrejo, Desa Sawahan, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah tercemar limbah sebuah
pabrik plastik PT ATC Selokaton, Karanganyar, yang mengalir di sungai
(Merdeka.com, 1 April 2014).
3.
Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia Provinsi Jawa Timur mencatat, telah terjadi perusakan
lingkungan yang masif dan sistemik di Jawa Timur sepanjang 2013 hingga medio
2014 (Tempo.Co, 06 Juni 2014).
4.
Sungai tercemar
merkuri, polisi Aceh tangkap penambang emas liar (Merdeka.com, 27 Agustus 2014).
Terjadinya
pencemaran lingkungan, banjir, kebakaran hutan, penebangan liar, dan
lain-lainnya harus segera ditanggulangi, maka dari itu perlunya ditanamkan rasa
peduli terhadap lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan hidup berperan besar
bagi kesejahteraan dan kesinambungan hidup masyarakat. Rendahnya kepedulian
menjaga kelestarian lingkungan hidup menjadikan masyarakat rentan melakukan
hal-hal yang merusak lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlu di tanamkan
pendidikan lingkungan hidup pada setiap masyarakat di Indonesia sejak dini,
terutama pada generasi penerus bangsa.
Dekade pertama abad 21 ini memang ditandai dengan krisis ekologis, yang
beriringan dengan krisis di dunia pendidikan dalam hal apa yang harus dilakukan
tentang krisis lingkungan itu. Sejak tahun 1970-an, pendidikan lingkungan
terisolasi sebagai disiplin akademik terpinggirkan dari keseluruhan kurikulum,
dan saat ini bahkan cenderung menempati dan dikontrol oleh jurusan ilmu-ilmu
alam dengan kemasan seolah-olah mendapat pengayaan dari ilmu-ilmu humaniora,
dan kerapkali tidak ada masukan dari para sarjana pendidikan, sekedar mengejar
gelar/ijasah program pendidikan lingkungan (Kahn, 2010: 5-7). Kahn kemudian
menegaskan perlunya pergeseran dari pendidikan lingkungan ke pendidikan
pembangunan berkelanjutan. Berangkat dari pedagogi kritis Paulo Freire, suatu
gerakan ecopedagogy internasional
dikemukakan Kahn untuk menandai proyek politik dan pendidikan radikal di bidang
ekologi yang sebenarnya sudah menjadi wacana sejak Rio Earth Summit tahun 1992
(Kahn, 2010: 12, 18).
Perilaku yang berperspektif lingkungan yang mengikutsertakan
pertimbangan-pertimbangan keberlangsungan kesehatan lingkungan dan vitalitas
ekosistem, merupakan perilaku yang diharapkan muncul dari kualitas manusia
Indonesia yang “Cerdas Komprehensif dan Kompetitif” (Renstra Kemendiknas, 2010 – 2014). Inilah ecoliteracy (melek lingkungan), yang tidak
serta merta bisa dicapai sebagai luaran suatu pelatihan atau pendidikan instan,
tetapi merupakan upaya berkelanjutan dan sistematis yang – bersama-sama dengan
berbagai tujuan peningkatan kualitas SDM yang lain - memungkinkan visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur” bisa terwujud.
Ecological literacy
atau ecoliteracy adalah istilah yang
dipergunakan pertama kali oleh pendidik Amerika David W. Orr dan fisikawan
Frithjof Capra di tahun 1990-an dalam rangka memperkenalkan cara berpikir
tentang dunia, terkait sistem kesalingtergantungan antara alam dan manusia,
termasuk pertimbangan konsekuensi-konsekuensi tindakan dan interaksi manusia
dalam hubungannya dengan konteks alamiahnya. Ecoliteracy memungkinkan nilai baru memasuki pendidikan, “bumi yang
sejahtera” (Sterling, 2003: 6).
Urgensi ecoliteracy di
Indonesia justru karena UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH pasal 65 menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan lingkungan
hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak tersebut bisa diberikan
secara sistematis sejak usia dini, dan pendidikan merupakan media yang paling
berwenang untuk ecoliteracy sejak
usia dini ini. Muara dari berbagai upaya sistematis ecoliteracy-isasi adalah membangun kualitas manusia sebagai subjek
maupun objek pembangunan yang dimanatkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005–2025. Kualitas
insan yang “cerdas komprehensif dan kompetitif” sebagaimana disebutkan di Renstra Kemendiknas, 2010 – 2014
(yang masih relevan sampai saat ini), meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan
cerdas kinestetis.
Pengabaian lingkungan (environmental
neglect) dalam proses pendidikan nasional memang bukan (belum) menjadi
perhatian serius. Tetapi laporan YCELP & CIESIN (2014: 10) berikut ini tentang
ranking Environmental Performance Index tahun
2014 di mana Indonesia dengan skor 44,36 berada di urutan ke-112 dari 178
negara sedunia, sudah seharusnya menjadi perhatian serius semua komponan bangsa
ini, termasuk di bidang pendidikan.

Gambar 1. Ranking negara-negara dalam Environmental Performance Index (EPI)
EPI diukur dari dua klasifikasi utama: kesehatan lingkungan dan vitalitas
ekosistem (YCELP & CIESIN, 2014: 12). Dunia pendidikan, memang tidak secara
langsung terlihat kontribusinya dalam peningkatan performa lingkungan
Indonesia. Tetapi melalui pendidikan, kesadaran pentingnya memperhatikan
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan (ecoliteracy), diharapkan bisa terbentuk dan pada akhirnya mampu
menjadi penggerak penyelamatan dan pemeliharaan lingkungan yang sehat serta
vitalitas ekosistem yang terawat.
United
Nation Environment Programme (UNEP) sebenarnya sudah menyediakan toolkit bagaimana mentranformasikan
universitas menjadi kampus yang hijau dan sustainable
(bisa diterjemahkan sesuai konteks penelitian: penyokong ecoliteracy). UNEP dalam “Green Universities Toolkit” (2013: 4) menegaskan
bahwa fungsi universitas sebagai agents
of change – katalis aksi sosial dan politik telah lama diemban sebagaimana
fungsi utamanya sebagai pusat pembelajaran. Kampus diharapkan menjadi motor
penggerak dan pusat inovasi pengembangan pemeliharaan lingkungan melalui
pengajaran dan pembelajaran, penelitian, dan trasfer pengetahuan. Istilah
“kurikulum bayangan” (shadow curriculum)
muncul di halaman awal buku UNEP ini untuk menunjuk pada peran vital dunia
kampus dalam mensinergikan keterkaitan teori dan praktek, khususnya dalam hal
pemeliharaan lingkungan.
“Kurikulum
bayangan” ini menjadi penting implementasinya jika dikaitkan dengan berbagai
model pembelajaran yang diarahkan untuk mengembangkan ecoliteracy. Matakuliah Pendidikan Lingkungan Hidup atau nama lain,
misalnya Ekologi Manusia, bisa jadi lebih mudah mentransformasikan pesan
pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup dibandingkan matakuliah lain
termasuk pendidikan jasmani. Tetapi tidak semua mahasiswa/siswa dipastikan
mendapatkan matakuliah/matapelajaran tersebut. Oleh karena itu “kurikulum
bayangan” perlu dioperasionalkan secara strategis tanpa mengurangi substansi
tujuan pembelajaran asal. Perangkat, bahan ajar, media, metode, pengaturan
waktu, hingga ruang pembelajaran diarahkan sedemikian rupa untuk ikut memberi
penekanan pada ecoliteracy terhadap
mahasiswa/siswa. Pendidikan berwawasan ekologi ini, pada akhirnya tidak hanya
berbicara di level pendidikan semata, namun memiliki konsekuensi penting dan
mendesak dalam penyelamatan planet hijau sebagai rumah umat manusia bersama.
[1] Tulisan
ini “belum selesai”, dan hanya bersifat pengantar yang selengkapnya akan
penulis tuntaskan di tulisan-tulisan berikutnya jika berkesempatan. Tulisan ini
dapat ditemukan pada proposal PUPT 2015 yang penulis buat berjudul “Integrasi Model
Pendidikan Olahraga dan Model Permainan Taktis untuk Peningkatan Ecolitercy” dengan Andun S sebagai ketua
pengusul. Daftar pustaka tulisan ini – maaf - ada di proposal tersebut.
[2] Dosen
Filsafat pada Unesa, email: madepramono@unesa.ac.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar