Jumat, 26 Juni 2015

Kajian Awal Ecoliteracy sebagai “Kurikulum Bayangan” bagi Calon Guru

 
Manusia dan lingkungan adalah kesatuan yang saling mempengaruhi satu terhadap lainnya. Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menyebutkan hal ini:
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Banyaknya kasus mengenai lingkungan hidup menunjukan bahwa masih rendahnya kepedulian terhadap lingkungan hidup. Berikut ini adalah contoh masalah lingkungan hidup:
1.      Bekasi, Jawa Barat, Pabrik yang berdomisili di Kampung Bangkongreong, Kelurahan Sertajaya, Kecamatan Cikarang Timur itu terbukti melakukan pencemaran berat berdasarkan hasil uji laboratorium lingkungan (Antara News, 27 Desember 2013).
2.      Air sumur warga Dukuhrejo, Desa Sawahan, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah tercemar limbah sebuah pabrik plastik PT ATC Selokaton, Karanganyar, yang mengalir di sungai (Merdeka.com, 1 April 2014).
3.      Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Provinsi Jawa Timur mencatat, telah terjadi perusakan lingkungan yang masif dan sistemik di Jawa Timur sepanjang 2013 hingga medio 2014 (Tempo.Co, 06 Juni 2014).
4.      Sungai tercemar merkuri, polisi Aceh tangkap penambang emas liar (Merdeka.com, 27 Agustus 2014).
Terjadinya pencemaran lingkungan, banjir, kebakaran hutan, penebangan liar, dan lain-lainnya harus segera ditanggulangi, maka dari itu perlunya ditanamkan rasa peduli terhadap lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan hidup berperan besar bagi kesejahteraan dan kesinambungan hidup masyarakat. Rendahnya kepedulian menjaga kelestarian lingkungan hidup menjadikan masyarakat rentan melakukan hal-hal yang merusak lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlu di tanamkan pendidikan lingkungan hidup pada setiap masyarakat di Indonesia sejak dini, terutama pada generasi penerus bangsa.
Dekade pertama abad 21 ini memang ditandai dengan krisis ekologis, yang beriringan dengan krisis di dunia pendidikan dalam hal apa yang harus dilakukan tentang krisis lingkungan itu. Sejak tahun 1970-an, pendidikan lingkungan terisolasi sebagai disiplin akademik terpinggirkan dari keseluruhan kurikulum, dan saat ini bahkan cenderung menempati dan dikontrol oleh jurusan ilmu-ilmu alam dengan kemasan seolah-olah mendapat pengayaan dari ilmu-ilmu humaniora, dan kerapkali tidak ada masukan dari para sarjana pendidikan, sekedar mengejar gelar/ijasah program pendidikan lingkungan (Kahn, 2010: 5-7). Kahn kemudian menegaskan perlunya pergeseran dari pendidikan lingkungan ke pendidikan pembangunan berkelanjutan. Berangkat dari pedagogi kritis Paulo Freire, suatu gerakan ecopedagogy internasional dikemukakan Kahn untuk menandai proyek politik dan pendidikan radikal di bidang ekologi yang sebenarnya sudah menjadi wacana sejak Rio Earth Summit tahun 1992 (Kahn, 2010: 12, 18).
Perilaku yang berperspektif lingkungan yang mengikutsertakan pertimbangan-pertimbangan keberlangsungan kesehatan lingkungan dan vitalitas ekosistem, merupakan perilaku yang diharapkan muncul dari kualitas manusia Indonesia yang “Cerdas Komprehensif dan Kompetitif” (Renstra Kemendiknas, 2010 – 2014). Inilah ecoliteracy (melek lingkungan), yang tidak serta merta bisa dicapai sebagai luaran suatu pelatihan atau pendidikan instan, tetapi merupakan upaya berkelanjutan dan sistematis yang – bersama-sama dengan berbagai tujuan peningkatan kualitas SDM yang lain - memungkinkan visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur” bisa terwujud.
Ecological literacy atau ecoliteracy adalah istilah yang dipergunakan pertama kali oleh pendidik Amerika David W. Orr dan fisikawan Frithjof Capra di tahun 1990-an dalam rangka memperkenalkan cara berpikir tentang dunia, terkait sistem kesalingtergantungan antara alam dan manusia, termasuk pertimbangan konsekuensi-konsekuensi tindakan dan interaksi manusia dalam hubungannya dengan konteks alamiahnya. Ecoliteracy memungkinkan nilai baru memasuki pendidikan, “bumi yang sejahtera” (Sterling, 2003: 6).
Urgensi ecoliteracy di Indonesia justru karena UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH pasal 65 menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak tersebut bisa diberikan secara sistematis sejak usia dini, dan pendidikan merupakan media yang paling berwenang untuk ecoliteracy sejak usia dini ini. Muara dari berbagai upaya sistematis ecoliteracy-isasi adalah membangun kualitas manusia sebagai subjek maupun objek pembangunan yang dimanatkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005–2025. Kualitas insan yang “cerdas komprehensif dan kompetitif” sebagaimana disebutkan di Renstra Kemendiknas, 2010 – 2014 (yang masih relevan sampai saat ini), meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.
Pengabaian lingkungan (environmental neglect) dalam proses pendidikan nasional memang bukan (belum) menjadi perhatian serius. Tetapi laporan YCELP & CIESIN (2014: 10) berikut ini tentang ranking Environmental Performance Index tahun 2014 di mana Indonesia dengan skor 44,36 berada di urutan ke-112 dari 178 negara sedunia, sudah seharusnya menjadi perhatian serius semua komponan bangsa ini, termasuk di bidang pendidikan.


Gambar 1. Ranking negara-negara dalam Environmental Performance Index (EPI)

EPI diukur dari dua klasifikasi utama: kesehatan lingkungan dan vitalitas ekosistem (YCELP & CIESIN, 2014: 12). Dunia pendidikan, memang tidak secara langsung terlihat kontribusinya dalam peningkatan performa lingkungan Indonesia. Tetapi melalui pendidikan, kesadaran pentingnya memperhatikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan (ecoliteracy), diharapkan bisa terbentuk dan pada akhirnya mampu menjadi penggerak penyelamatan dan pemeliharaan lingkungan yang sehat serta vitalitas ekosistem yang terawat.
United Nation Environment Programme (UNEP) sebenarnya sudah menyediakan toolkit bagaimana mentranformasikan universitas menjadi kampus yang hijau dan sustainable (bisa diterjemahkan sesuai konteks penelitian: penyokong ecoliteracy). UNEP dalam “Green Universities Toolkit” (2013: 4) menegaskan bahwa fungsi universitas sebagai agents of change – katalis aksi sosial dan politik telah lama diemban sebagaimana fungsi utamanya sebagai pusat pembelajaran. Kampus diharapkan menjadi motor penggerak dan pusat inovasi pengembangan pemeliharaan lingkungan melalui pengajaran dan pembelajaran, penelitian, dan trasfer pengetahuan. Istilah “kurikulum bayangan” (shadow curriculum) muncul di halaman awal buku UNEP ini untuk menunjuk pada peran vital dunia kampus dalam mensinergikan keterkaitan teori dan praktek, khususnya dalam hal pemeliharaan lingkungan.
“Kurikulum bayangan” ini menjadi penting implementasinya jika dikaitkan dengan berbagai model pembelajaran yang diarahkan untuk mengembangkan ecoliteracy. Matakuliah Pendidikan Lingkungan Hidup atau nama lain, misalnya Ekologi Manusia, bisa jadi lebih mudah mentransformasikan pesan pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup dibandingkan matakuliah lain termasuk pendidikan jasmani. Tetapi tidak semua mahasiswa/siswa dipastikan mendapatkan matakuliah/matapelajaran tersebut. Oleh karena itu “kurikulum bayangan” perlu dioperasionalkan secara strategis tanpa mengurangi substansi tujuan pembelajaran asal. Perangkat, bahan ajar, media, metode, pengaturan waktu, hingga ruang pembelajaran diarahkan sedemikian rupa untuk ikut memberi penekanan pada ecoliteracy terhadap mahasiswa/siswa. Pendidikan berwawasan ekologi ini, pada akhirnya tidak hanya berbicara di level pendidikan semata, namun memiliki konsekuensi penting dan mendesak dalam penyelamatan planet hijau sebagai rumah umat manusia bersama.


[1] Tulisan ini “belum selesai”, dan hanya bersifat pengantar yang selengkapnya akan penulis tuntaskan di tulisan-tulisan berikutnya jika berkesempatan. Tulisan ini dapat ditemukan pada proposal PUPT 2015 yang penulis buat berjudul “Integrasi Model Pendidikan Olahraga dan Model Permainan Taktis untuk Peningkatan Ecolitercy” dengan Andun S sebagai ketua pengusul. Daftar pustaka tulisan ini – maaf - ada di proposal tersebut.

[2] Dosen Filsafat pada Unesa, email: madepramono@unesa.ac.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar