Minggu, 20 September 2015
Filsafat Olahraga itu Sesuatu Banget...
Ketika tahun 1998 Indonesia menyepakati Ilmu Keolahragaan sebagai
ilmu yang mandiri, setahun berikutnya sayapun dipanggil untuk memperkuat
ilmu baru tersebut. Tentu, dengan filsafat sebagai "core" saya. Di
antara keresahan eksistensial saya (waduhh :D) di tempat itu, saya tentu
mulai mencari tahu tanpa satupun teman yang menjadi guide. Eh, ralat,
ada teman sih, namanya "buku KDI-Keolahragaan" yang terbit tahun 2000.
Setelah baca-baca sekilas, saya baru memahami mengapa orang filsafat kok
dicari2 oleh Fakultas Ilmu Keolahragaan Unesa (yang pada saat itu masih
Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP Negeri Surabaya).
Sampai tahun 2001, eksistensi (dan apalagi self-confident serta self-efficacy) saya masih belum sepenuhnya ter-charge dengan sempurna. Kerjaan saya mengajar, pulang. Itu aja tiap harinya. Hampir2 ngenes karena tidak tahu apa yang bisa kukontribusikan ke lembaga FIK khususnya, dan negeri ini umumnya dalam kaitannya dengan kapasitas saya sebagai orang filsafat di tengah2 belantara orang2 olahraga. Sekretaris Jurusan di mana saya mengabdi waktu itupun saat kukonsultasikan ke beliau, hanya manggut2 tidak "ngeh" dengan keluh kesah model saya. Hehe.. Satu orang kolega di kampus (sekarang sudah almarhum) yang kemudian "memanfaatkan" saya, dari situ saya perlahan2 mulai percaya diri.
Tahun 2001 - 2003 saya kuliah S2 di UGM. Dari jauh, saya melihat FIK Unesa dengan kacamata baru. Setidaknya saat itu saya mulai mengambil posisi "aku filsafat, aku dibutuhkan" meskipun masih belum optimal keteguhan sikap dan posisi saya itu. Dari keahlian komputer yang waktu itu di FIK masih cukup langka, saya mulai dikenal orang2 FIK. Bahkan sampai dipercaya membuat dan mengelola website. Hehe.. Percaya diri saya tambah gede.
Lalu, sayapun menulis buku. Filsafat Olahraga judulnya. Belum bergema sih, tetapi eksistensi saya sudah mantap di FIK. Siapa yang paling tahu filsafat olahraga, setidaknya di Unesa, sayalah orangnya. kata mereka begitu. Padahal saya masih merasa sebagai bayi yang tidak pernah disusui, tetapi harus segera dewasa.
Tiba-tiba tahun 2006 buku saya ke-4 tembus penghargaan nasional. Tentang Filsafat Ilmu. Banyak teman2 Unesa yang mulai bangkit semangat berkarya ilmiahnya setelah itu. Sudahlah, singkat cerita setelah itu sayapun sejajar dengan teman2 dosen lain. Setidaknya menurutku, ga peduli menurut yang lain. Hehe... Seperti biasanya aku, tidak ada yang memperbedakan aku dengan siapapun manusia dalam hal keharusan menunduk tawadhu, kecuali orang2 saleh. Hehe.. Intinya, aku sudah kembali menjadi aku yang penuh.
Kesibukan mengajar saya menjadi-jadi. Mengajar hampir 50 SKS dalam 1 semester sudah biasa bagi saya. Minim penghargaan, dan memang layak digoblok2in..kok mau2nya lo saya ini. Kuncinya, saya senang2 saja melakukannya. Semuapun terasa ringan. Xixixixi...
Setelah mendapat gelar Doktor Ilmu Filsafat tahun 2014 dengan Filsafat Olahraga sebagai kepakaran saya, di semester itu juga saya diminta mengajar S3 utk mata kuliah Filsafat Olahraga bersama Prof Toho CM, mantan rektor Unesa yang menjadi arsitek berubahnya IKIP menjadi Unesa, dan sekaligus arsitek deklarasi Ilmu Keolahragaan sbg ilmu yang mandiri. Saya bersanding dengan beliau utk mengajar calon2 Doktor Ilmu Keolahragaan! Wow... sesuatu yang 15 tahun seblumnya saya justru berada di posisi sebaliknya: "terasing" karena saya filsafat kok ada di tengah2 akademisi olahraga. Tuhan tidak sedang bermain2 dengan kemisteriusanNya.
Tahun 2015. Medio September. Terbitlah buku saya: "Filsafat Ilmu Keolahragaan", yang sejujurnya berangkat dari kisah kegalauan saya 15 tahun lalu itu... Bismillah-ku, menggema terus menerus di aliran kesadaranku.
Sampai tahun 2001, eksistensi (dan apalagi self-confident serta self-efficacy) saya masih belum sepenuhnya ter-charge dengan sempurna. Kerjaan saya mengajar, pulang. Itu aja tiap harinya. Hampir2 ngenes karena tidak tahu apa yang bisa kukontribusikan ke lembaga FIK khususnya, dan negeri ini umumnya dalam kaitannya dengan kapasitas saya sebagai orang filsafat di tengah2 belantara orang2 olahraga. Sekretaris Jurusan di mana saya mengabdi waktu itupun saat kukonsultasikan ke beliau, hanya manggut2 tidak "ngeh" dengan keluh kesah model saya. Hehe.. Satu orang kolega di kampus (sekarang sudah almarhum) yang kemudian "memanfaatkan" saya, dari situ saya perlahan2 mulai percaya diri.
Tahun 2001 - 2003 saya kuliah S2 di UGM. Dari jauh, saya melihat FIK Unesa dengan kacamata baru. Setidaknya saat itu saya mulai mengambil posisi "aku filsafat, aku dibutuhkan" meskipun masih belum optimal keteguhan sikap dan posisi saya itu. Dari keahlian komputer yang waktu itu di FIK masih cukup langka, saya mulai dikenal orang2 FIK. Bahkan sampai dipercaya membuat dan mengelola website. Hehe.. Percaya diri saya tambah gede.
Lalu, sayapun menulis buku. Filsafat Olahraga judulnya. Belum bergema sih, tetapi eksistensi saya sudah mantap di FIK. Siapa yang paling tahu filsafat olahraga, setidaknya di Unesa, sayalah orangnya. kata mereka begitu. Padahal saya masih merasa sebagai bayi yang tidak pernah disusui, tetapi harus segera dewasa.
Tiba-tiba tahun 2006 buku saya ke-4 tembus penghargaan nasional. Tentang Filsafat Ilmu. Banyak teman2 Unesa yang mulai bangkit semangat berkarya ilmiahnya setelah itu. Sudahlah, singkat cerita setelah itu sayapun sejajar dengan teman2 dosen lain. Setidaknya menurutku, ga peduli menurut yang lain. Hehe... Seperti biasanya aku, tidak ada yang memperbedakan aku dengan siapapun manusia dalam hal keharusan menunduk tawadhu, kecuali orang2 saleh. Hehe.. Intinya, aku sudah kembali menjadi aku yang penuh.
Kesibukan mengajar saya menjadi-jadi. Mengajar hampir 50 SKS dalam 1 semester sudah biasa bagi saya. Minim penghargaan, dan memang layak digoblok2in..kok mau2nya lo saya ini. Kuncinya, saya senang2 saja melakukannya. Semuapun terasa ringan. Xixixixi...
Setelah mendapat gelar Doktor Ilmu Filsafat tahun 2014 dengan Filsafat Olahraga sebagai kepakaran saya, di semester itu juga saya diminta mengajar S3 utk mata kuliah Filsafat Olahraga bersama Prof Toho CM, mantan rektor Unesa yang menjadi arsitek berubahnya IKIP menjadi Unesa, dan sekaligus arsitek deklarasi Ilmu Keolahragaan sbg ilmu yang mandiri. Saya bersanding dengan beliau utk mengajar calon2 Doktor Ilmu Keolahragaan! Wow... sesuatu yang 15 tahun seblumnya saya justru berada di posisi sebaliknya: "terasing" karena saya filsafat kok ada di tengah2 akademisi olahraga. Tuhan tidak sedang bermain2 dengan kemisteriusanNya.
Tahun 2015. Medio September. Terbitlah buku saya: "Filsafat Ilmu Keolahragaan", yang sejujurnya berangkat dari kisah kegalauan saya 15 tahun lalu itu... Bismillah-ku, menggema terus menerus di aliran kesadaranku.
Jumat, 26 Juni 2015
Sport Educational Tactical Model
Oleh:
Dr. Made Pramono[2]
Model pendidikan olahraga (Sport
Educational Model, selanjutnya disingkat SEM) adalah model kurikulum dan
pembelajaran yang memberikan pengalaman olahraga otentik terhadap siswa dalam
pendidikan jasmani (Siedentop, 1998: 19), sementara
model permainan taktis (Tactical Games Model, selanjutnya disingkat TGM) adalah model pembelajaran yang
meningkatkan kecakapan bermain melalui tindakan memainkan permainan yang
menarik dan mudah dipahami (Mitchell, Oslin, &
Griffin, 2006: 15). Berbagai keuntungan integrasi kedua model pembelajaran
pendidikan jasmani ini sudah banyak yang meneliti (yang sebangun dengan
penelitian ini misalnya Pritchard
& Mccollum, 2013; Chouinard, 2007).
Pendidikan jasmani dalam penelitian ini tidak sekedar dimaknai sebagai
pendidikan terhadap jasmani, tetapi
pendidikan melalui jasmani. Hal ini
dihubungkan dengan misi pembangunan
nasional, yakni mewujudkan
bangsa yang berdaya saing dengan prioritas utama menekankan upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia (RPJPN 2005 – 2025). Kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang dimaksud, tidak bisa hanya dikaitkan dengan
keterampilan berpikir, tetapi juga berhubungan dengan keterampilan berperilaku.
Metzler (dalam Chouinarde, 2007: 6) menyebut Tactical Games Approach sebagai model instruksional mainstream
untuk pendidikan jasmani dan menyebutnya dengan Tactical Games Model (TGM), yakni:
Model istruksional yang
menunjuk pada rencana koheren dan komprehensif untuk mengajar yang mencakup:
pondasi teoritis, luaran pembelajaran, kompetensi keilmuan pengajar, pengembangan
aktivitas pembelajaran yang berurutan dan tepat, ekspektasi terhadap perilaku
pengajar dan siswa, struktur-struktur penugasan yang unik, penilaian terhadap
luaran pembelajaran, dan cara-cara verifikasi implementasi yang meyakinkan dari
model itu sendiri (hal. 7).
Model
instruksional sebagaimana dijelaskan Metzler ini secara definitif selaras
dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagaimana diamanahkan Undang-undang no 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Perpres
No. 8/2012 tentang KKNI, Permendikbud No.49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi (SN Dikti).
Dengan
penekanan pada nilai-nilai siswa sebagai pusat dan perencanaan berbasis luaran,
pendekatan taktis ini merupakan model instruksional yang memampukan guru,
siswa, orang tua, dan administrator untuk memajukan pendidikan siswa yang
holistik dan transformasional melalui pendidikan jasmani (Griffin & Butler,
2005: 63).
Integrasi
TGM dengan SEM, disimpulkan Collier (2005), memberikan peluang kepada guru
untuk mempertinggi capaian luaran pembelajaran untuk siswa (Chouinarde,
2007: 8). SEM yang dikembangkan oleh Daryl Siedentop
(1994: 4) dirancang untuk mengedukasi siswa untuk menjadi pemain dalam arti
sebenarnya dan untuk membantu mereka berkembang sebagai pemain yang kompeten,
terpelajar, dan insan olahraga yang antusias. Penelitian tentang kemanfaatan
SEM misalnya dilakukan oleh Dana Perlman (2012: 141, 152), yang menyimpulkan
bahwa SEM mampu mengubah persepsi dan pengalaman siswa-siswa yang cenderung
kurang termotivasi menjadi antusias berolahraga.
SEM
dimaksudkan untuk menciptakan pengalaman olahraga yang otentik dan sesuai
perkembangan usia siswa laki-laki dan perempuan dalam pendidikan jasmani, di
mana semua berpartisipasi secara sama. Beberapa aktivitas diajarkan secara
mendalam dan meluas sehingga tujuan muatan pembelajaranpun juga diperluas.
Unit-unit instruksional (atau disebut sesi-sesi dalam SEM) memungkinkan siswa
tumbuh dalam luaran dan peran yang bervariasi (Chouinarde, 2007: 8). Bennett dan Hastie (1997: 39) yang meneliti penerapan SEM
untuk perkuliahan pendidikan jasmani di kampus, juga menegaskan bahwa SEM
dirancang untuk membantu mahasiswa (dan siswa) menghargai olahraga, dengan
memampukan mereka mengalami kompetisi rendah dan kompetisi tinggi. Ketika
menggambarkan TGM, Mitchell dkk (dalam Prittchard & Mccollum, 2009: 38)
menyarankan untuk menggunakan komponen-komponen SEM untuk “menyediakan kerangka
kerja efektif yang melaluinya model permainan taktis dapat diimplementasikan”.
Integrasi
TGM dan SEM secara tepat dapat melipatgandakan keberhasilan siswa dalam pendidikan
jasmani. Kompatibilitas kedua model didasari beberapa alasan: (a) maksud
keduanya adalah pelayanan yang lebih baik bagi semua anak-anak dengan
mengadakan pengalaman permainan dan olahraga yang tepat sesuai usia mereka; (b)
teori permainan menjadi dasar kedua model; (c) memainkan permainan merupakan
pusat pengorganisasian keduanya, dengannya kompetisi sehat ditekankan; (d)
keduanya menggunakan pengalaman pembelajaran yang merepresentasikan olahraga
otentik dan pengalaman permainan. Perancangan pengalaman olahraga dan permainan
yang tepat sesuai perkembangan usia siswa adalah hal yang paling utama dalam
keberhasilan baik TGM maupun SEM (Collier, dalam Chouinarde, 2007:
9-10). Prittchard dan Mccollum (2009: 31) menyebut integrasi TGM dan SEM ini
dengan Sport Education Tactical Model
(SETM), yang sebenarnya tujuannya sama dengan SEM, yakni membantu siswa untuk berkembang sebagai pemain yang kompeten, terpelajar, dan
insan olahraga yang antusias.
[1] Tulisan
ini “belum selesai”, dan hanya bersifat pengantar yang selengkapnya akan
penulis tuntaskan di tulisan-tulisan berikutnya jika berkesempatan. Tulisan ini
dapat ditemukan pada proposal PUPT 2015 yang penulis buat berjudul “Integrasi Model
Pendidikan Olahraga dan Model Permainan Taktis untuk Peningkatan Ecolitercy” dengan Andun S sebagai ketua
pengusul. Daftar pustaka tulisan ini – maaf - ada di proposal tersebut.
[2] Dosen
Filsafat pada Unesa, email: madepramono@unesa.ac.id.
Kajian Awal Ecoliteracy sebagai “Kurikulum Bayangan” bagi Calon Guru
Manusia dan lingkungan adalah kesatuan yang saling mempengaruhi satu
terhadap lainnya. Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menyebutkan
hal ini:
Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Banyaknya
kasus mengenai lingkungan hidup menunjukan bahwa masih rendahnya kepedulian
terhadap lingkungan hidup. Berikut ini adalah contoh masalah lingkungan hidup:
1.
Bekasi, Jawa Barat,
Pabrik yang berdomisili di Kampung Bangkongreong, Kelurahan Sertajaya,
Kecamatan Cikarang Timur itu terbukti melakukan pencemaran berat berdasarkan
hasil uji laboratorium lingkungan (Antara News, 27 Desember 2013).
2.
Air sumur warga
Dukuhrejo, Desa Sawahan, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah tercemar limbah sebuah
pabrik plastik PT ATC Selokaton, Karanganyar, yang mengalir di sungai
(Merdeka.com, 1 April 2014).
3.
Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia Provinsi Jawa Timur mencatat, telah terjadi perusakan
lingkungan yang masif dan sistemik di Jawa Timur sepanjang 2013 hingga medio
2014 (Tempo.Co, 06 Juni 2014).
4.
Sungai tercemar
merkuri, polisi Aceh tangkap penambang emas liar (Merdeka.com, 27 Agustus 2014).
Terjadinya
pencemaran lingkungan, banjir, kebakaran hutan, penebangan liar, dan
lain-lainnya harus segera ditanggulangi, maka dari itu perlunya ditanamkan rasa
peduli terhadap lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan hidup berperan besar
bagi kesejahteraan dan kesinambungan hidup masyarakat. Rendahnya kepedulian
menjaga kelestarian lingkungan hidup menjadikan masyarakat rentan melakukan
hal-hal yang merusak lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlu di tanamkan
pendidikan lingkungan hidup pada setiap masyarakat di Indonesia sejak dini,
terutama pada generasi penerus bangsa.
Dekade pertama abad 21 ini memang ditandai dengan krisis ekologis, yang
beriringan dengan krisis di dunia pendidikan dalam hal apa yang harus dilakukan
tentang krisis lingkungan itu. Sejak tahun 1970-an, pendidikan lingkungan
terisolasi sebagai disiplin akademik terpinggirkan dari keseluruhan kurikulum,
dan saat ini bahkan cenderung menempati dan dikontrol oleh jurusan ilmu-ilmu
alam dengan kemasan seolah-olah mendapat pengayaan dari ilmu-ilmu humaniora,
dan kerapkali tidak ada masukan dari para sarjana pendidikan, sekedar mengejar
gelar/ijasah program pendidikan lingkungan (Kahn, 2010: 5-7). Kahn kemudian
menegaskan perlunya pergeseran dari pendidikan lingkungan ke pendidikan
pembangunan berkelanjutan. Berangkat dari pedagogi kritis Paulo Freire, suatu
gerakan ecopedagogy internasional
dikemukakan Kahn untuk menandai proyek politik dan pendidikan radikal di bidang
ekologi yang sebenarnya sudah menjadi wacana sejak Rio Earth Summit tahun 1992
(Kahn, 2010: 12, 18).
Perilaku yang berperspektif lingkungan yang mengikutsertakan
pertimbangan-pertimbangan keberlangsungan kesehatan lingkungan dan vitalitas
ekosistem, merupakan perilaku yang diharapkan muncul dari kualitas manusia
Indonesia yang “Cerdas Komprehensif dan Kompetitif” (Renstra Kemendiknas, 2010 – 2014). Inilah ecoliteracy (melek lingkungan), yang tidak
serta merta bisa dicapai sebagai luaran suatu pelatihan atau pendidikan instan,
tetapi merupakan upaya berkelanjutan dan sistematis yang – bersama-sama dengan
berbagai tujuan peningkatan kualitas SDM yang lain - memungkinkan visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur” bisa terwujud.
Ecological literacy
atau ecoliteracy adalah istilah yang
dipergunakan pertama kali oleh pendidik Amerika David W. Orr dan fisikawan
Frithjof Capra di tahun 1990-an dalam rangka memperkenalkan cara berpikir
tentang dunia, terkait sistem kesalingtergantungan antara alam dan manusia,
termasuk pertimbangan konsekuensi-konsekuensi tindakan dan interaksi manusia
dalam hubungannya dengan konteks alamiahnya. Ecoliteracy memungkinkan nilai baru memasuki pendidikan, “bumi yang
sejahtera” (Sterling, 2003: 6).
Urgensi ecoliteracy di
Indonesia justru karena UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH pasal 65 menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan lingkungan
hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak tersebut bisa diberikan
secara sistematis sejak usia dini, dan pendidikan merupakan media yang paling
berwenang untuk ecoliteracy sejak
usia dini ini. Muara dari berbagai upaya sistematis ecoliteracy-isasi adalah membangun kualitas manusia sebagai subjek
maupun objek pembangunan yang dimanatkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005–2025. Kualitas
insan yang “cerdas komprehensif dan kompetitif” sebagaimana disebutkan di Renstra Kemendiknas, 2010 – 2014
(yang masih relevan sampai saat ini), meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan
cerdas kinestetis.
Pengabaian lingkungan (environmental
neglect) dalam proses pendidikan nasional memang bukan (belum) menjadi
perhatian serius. Tetapi laporan YCELP & CIESIN (2014: 10) berikut ini tentang
ranking Environmental Performance Index tahun
2014 di mana Indonesia dengan skor 44,36 berada di urutan ke-112 dari 178
negara sedunia, sudah seharusnya menjadi perhatian serius semua komponan bangsa
ini, termasuk di bidang pendidikan.

Gambar 1. Ranking negara-negara dalam Environmental Performance Index (EPI)
EPI diukur dari dua klasifikasi utama: kesehatan lingkungan dan vitalitas
ekosistem (YCELP & CIESIN, 2014: 12). Dunia pendidikan, memang tidak secara
langsung terlihat kontribusinya dalam peningkatan performa lingkungan
Indonesia. Tetapi melalui pendidikan, kesadaran pentingnya memperhatikan
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan (ecoliteracy), diharapkan bisa terbentuk dan pada akhirnya mampu
menjadi penggerak penyelamatan dan pemeliharaan lingkungan yang sehat serta
vitalitas ekosistem yang terawat.
United
Nation Environment Programme (UNEP) sebenarnya sudah menyediakan toolkit bagaimana mentranformasikan
universitas menjadi kampus yang hijau dan sustainable
(bisa diterjemahkan sesuai konteks penelitian: penyokong ecoliteracy). UNEP dalam “Green Universities Toolkit” (2013: 4) menegaskan
bahwa fungsi universitas sebagai agents
of change – katalis aksi sosial dan politik telah lama diemban sebagaimana
fungsi utamanya sebagai pusat pembelajaran. Kampus diharapkan menjadi motor
penggerak dan pusat inovasi pengembangan pemeliharaan lingkungan melalui
pengajaran dan pembelajaran, penelitian, dan trasfer pengetahuan. Istilah
“kurikulum bayangan” (shadow curriculum)
muncul di halaman awal buku UNEP ini untuk menunjuk pada peran vital dunia
kampus dalam mensinergikan keterkaitan teori dan praktek, khususnya dalam hal
pemeliharaan lingkungan.
“Kurikulum
bayangan” ini menjadi penting implementasinya jika dikaitkan dengan berbagai
model pembelajaran yang diarahkan untuk mengembangkan ecoliteracy. Matakuliah Pendidikan Lingkungan Hidup atau nama lain,
misalnya Ekologi Manusia, bisa jadi lebih mudah mentransformasikan pesan
pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup dibandingkan matakuliah lain
termasuk pendidikan jasmani. Tetapi tidak semua mahasiswa/siswa dipastikan
mendapatkan matakuliah/matapelajaran tersebut. Oleh karena itu “kurikulum
bayangan” perlu dioperasionalkan secara strategis tanpa mengurangi substansi
tujuan pembelajaran asal. Perangkat, bahan ajar, media, metode, pengaturan
waktu, hingga ruang pembelajaran diarahkan sedemikian rupa untuk ikut memberi
penekanan pada ecoliteracy terhadap
mahasiswa/siswa. Pendidikan berwawasan ekologi ini, pada akhirnya tidak hanya
berbicara di level pendidikan semata, namun memiliki konsekuensi penting dan
mendesak dalam penyelamatan planet hijau sebagai rumah umat manusia bersama.
[1] Tulisan
ini “belum selesai”, dan hanya bersifat pengantar yang selengkapnya akan
penulis tuntaskan di tulisan-tulisan berikutnya jika berkesempatan. Tulisan ini
dapat ditemukan pada proposal PUPT 2015 yang penulis buat berjudul “Integrasi Model
Pendidikan Olahraga dan Model Permainan Taktis untuk Peningkatan Ecolitercy” dengan Andun S sebagai ketua
pengusul. Daftar pustaka tulisan ini – maaf - ada di proposal tersebut.
[2] Dosen
Filsafat pada Unesa, email: madepramono@unesa.ac.id.
Label:
ecoliteracy,
ecology,
ekologi,
lingkungan hidup,
melek ekologi
Langganan:
Komentar (Atom)
