Neo-imperialisme melalui bahasa sedang dan sudah terjadi. Dan kita amini. Oleh karenanya, saya menyebutnya hegemoni bahasa, sambil memohon keiklasan Foucault, Gramsci, Naquib Al-Attas, semua nabi2 teks pengilham saya (dan tentu saja terutama Pierre Bourdieu), untuk serampangan memakai batasan saya sendiri tentang hegemoni bahasa itu. Pada dasarnya, kita semua adalah antek-antek sekaligus korban dari kekuasaan bahasa itu dalam arti seluas-luasnya!
Betapa bangga kita secara berjamaah lihai berbahasa Inggris atau Arab, dan acuh ketika Boso Jowo atau Bahasa Indonesia kita tinggalkan dalam amburadul tak terawat. Ini artinya kita menghamba pada kekuasaan antah berantah yang kita undang untuk mewajibkan kita lulus TOEFL misalnya atau membuat kita sibuk berwacana macam2 yang disebut "global".
Oke, sebelum terlalu jauh, Saya tidak sedang mengarahkan pembicaraan ke sejarah Attaturk di Turki, atau konsep "doxa" dari Bourdieu. Saya hanya memberanikan diri mengajukan pernyataan bahwa kita yang "ini", memang menyatukan diri dengan patuh kepada mereka yang "itu" hingga akhirnya semua menjadi "kita".
Neo-imperialisme bahasa sebenarnya sudah tidak perlu diperpanjang debatnya, karena sejak awal munculnya rasionalitas manusia, bahasa memang menunjukkan kuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar